Bulan lalu saya ngobrol
berjam-jam sama salah satu sahabat karib saya. Ngalur-ngidul dari ngomongin
kabar saat ini sampai berkhayal jadi penulis buku karena habis nonton Critical Eleven. Dari sekitar waktu
hampir 3 jam itu, ada satu kalimat yang membekas banget buat saya. Kalau bisa
saya simpulkan, dia bilang bahwa ‘even if
I come from a broken circumstances, I don’t have to be one’. Ekspresi saya
waktu denger itu cuman satu, senyum!
Saya nggak akan cerita tentang
keadaan yang dia lalui itu seperti apa, tapi yang saya perhatiin adalah
bagaimana dia memilih untuk
meresponinya. Saya nggak akan pernah benar-benar tahu apa yang dia lalui, bagaimana beratnya dan berapa
kali dia pernah menyalahkan segalanya karena terlahir untuk menghadapi banyak
hal yang kurang enak. Tapi apapun itu, dia tidak memilih untuk menjadi lebih
kecil dari hal-hal tersebut. Saya cuman ngomong di dalam hati, ‘andai kita
semua bisa seperti ini’.
Memangnya bisa? Yes, we can!
Saya nggak tahu cerita kamu saat
ini. Apa yang telah atau harus kamu lalui mungkin tidak seberat cerita saya,
teman saya itu, atau siapun itu. Atau bahkan mungkin jauh lebih berat dari pada
itu. No one knows. Tapi di dalam
segala musim kehidupan, hal yang saya tahu pasti adalah bahwa satu-satunya
orang yang menentukan bagaimana kita meresponi hal-hal yang terjadi adalah diri kita sendiri.
Kita nggak akan bisa mengendalikan apa
yang akan terjadi. Itu ada di ‘luar’ kita, kan? Yang bisa kita atur hanyalah
yang jelas-jelas kita miliki. Yes, it’s what’s inside us that we can handle.
Kita mau suatu perkara membentuk atau menghancurkan kita adalah sepenuhnya
keputusan kita.
If we respond correctly, even the scar from the hardest storm can be a beautiful one.